ABSTRAK: Amanat UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa diwujudkan dalam kebijakan wajar dikdas 9 tahun demi memberikan pelayanan kepada anak bangsa untuk memasuki sekolah dengan biaya terjangkau oleh kemampuan masyarakat. Hasrat dan tekad masyarakat untuk menyekolahkan anaknya mengalami kesulitan pembiayaan sehingga pemerintah menerapkan kebijakan pendidikan gratis yang dimulai pada tahun 2004.
Program pendidikan gratis diberikan hanya kepada masyarakat kurang mampu dan tidak dalam pengertian “bebas dari segala biaya pendidikan” sedangkan masyarakat menuntut pendidikan “tanpa biaya dan pungutan apa pun”. Sikap tengah yang lebih tepat digunakan ialah prinsip minus malum yang berarti diambil yang kurang buruknya daripada semua yang buruk. Berlandaskan prinsip itu diharapkan partisipasi masyarakat mendukung kebijakan pendidikan gratis kendatipun ada kekhawtiran terjadinya penurunan mutu akibat pemberian dana BOS yang terbatas. Kekhawatiran ini dapat teratasi apabila diperoleh komitmen pemerintah daerah untuk menunjang kebijakan pendidikan gratis dan kerja sama proaktif dari Komite Sekolah serta penerapan sanksi melalui Perda.
KATA KUNCI: wajib belajar, pendidikan gratis, dana BOS, Perda, minus malum.
PENDAHULUAN
Sudah lebih dari 25 tahun, tepatnya sejak tahun 1984, pemerintah mendengungkan kampanye wajib belajar pendidikan dasar atau disingkat wajar dikdas. Jaminan akses terhadap pendidikan dasar dalam rangka wajar 6 tahun yang kemudian disusul wajar 9 tahun sesungguhnya sudah menjadi komitmen antara pemerintah dan masyarakat, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa tujuan negara ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Maksud dan tujuan pelaksanaan wajib belajar adalah memberikan pelayanan kepada anak bangsa untuk memasuki sekolah dengan biaya murah dan terjangkau oleh kemampuan masyarakat banyak.Tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah terkait pengelolaan program wajar ialah
1) Pemerintah menetapkan kebijakan nasional pelaksanaan program wajib belajar;
2) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya berkewajiban menyelenggarakan program wajib belajar berdasarkan kebijakan nasional; dan
3) Pemerintah daerah dapat mengatur lebih lanjut pelaksanaan program wajib belajar, sesuai dengan kondisi daerah masing masing melalui Peraturan Daerah. Dengan demikian, penerapan wajib belajar di Indonesia menyimpang dari wajib belajar menurut pemahaman dan konsep internasional sebagaimana diungkap dalam suatu keputusan internasional Declaration on Education for All di Jomtien, Thailand, tahun 1990, yang menegaskan compulsory education. Wajib belajar versi internasional ini berimplikasi pada pembebasan penuh terhadap biaya pendidikan sehingga tidak ada halangan atau rintangan terhadap akses siswa mengenyam pendidikan bermutu, termasuk pendanaan pendidikan. Yang terjadi dan dilaksanakan di Indonesia ialah universal education yang memberikan akses yang bersifat pemerataan kepada anak untuk menikmati pendidikan. Dalam upaya melaksanakan pemerataan pendidikan kepada anak-anak bangsa,
Pemerintah tidak menutup mata terhadap kenyataan keterpurukan ekonomi di tengah masyarakat. Semakin banyak sekolah dibuka demi memberikan kesempatan pendidikan kepada anak bangsa yang berhasrat menimba pengetahuan dalam belajarnya, semakin banyak juga anak bangsa yang menyambut uluran tangan terhadap kesempatan menapatkan pendidikan ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian terbesar anak-anak bangsa itu berasal dari keluarga kurang mampu ekonominya. Hasrat dan tekad mereka menyekolahkan anaknya mengalami jalan buntu sehingga pemerintah menggagaskan dan kemudian melaksanakan kebijakan pendidikan gratis.
Kebijakan wajib belajar dan program pendidikan gratis merupakan komitmen pemerintah untuk meningkatkan akses pendidikan. Komitmen pendidikan gratis diungkap oleh Mendiknas Bambang Sudibyo pada bulan Oktober 2004, selain komitmen tentang akses ke pendidikan tinggi dan kesejahteraan guru. Mendiknas akan memberi perhatian yang sangat besar pada pendidikan dasar dan menengah karena berkaitan dengan hak warga negara atas pendidikan dan wajib bagi pemerintah untuk menyediakannya. Namun, ditegaskan bahwa pendidikan gratis dapat diwujudkan bagi segmen tertentu masyarakat, yang memang pantas untuk digratiskan. “Tapi untuk orang kaya, saya tidak akan memberikan gratis,” katanya ((R.R Ariyani – Tempo http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/ 2004/10/22/brk,20041022-08,id.html)
Program pendidikan gratis lebih gencar dicanangkan kembali menjelang akhir masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Iklan tentang pendidikan gratis untuk jenjang pendidikan dasar yang ditayangkan di layar kaca belum lama ini yang diprakarsai oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) justru menuai kritik karena menimbulkan kesimpangsiuran dan membingungkan masyarakat serta berdampak negatif terhadap masyarakat umumnya dan sekolah terutama sekolah swasta khususnya. Iklan Depdiknas dapat berbalik menjadi boomerang bagi pemerintah lantaran mengucurkan harapan hampa kepada masyarakat. Dalam iklan itu tidak dijelaskan keterbatasan makna “gratis” yang dimaksudkan pemerintah sehingga ditafsirkan sebagai”bebas dari segala biaya pendidikan”. Padahal, sebagaimana dikatakan di atas, jauh sebelumnya sudah ditegaskan oleh Mendiknas bahwa pendidikan gratis diwujudkan bagi segmen tertentu masyarakat yang memang pantas untuk digratiskan. Masyarakat yang belum tahu tentang pembatasan itu bersorak gembira mengantongi pendidikan “gratis” di tangannya. Mereka mengumpat dan memaki-maki kepada kepala sekolah (baca: sekolah) lantaran masih terjadi pungutan dari orang tua siswa. Masyarakat tidak mau memberikan bantuan bagi penyelenggaraan pendidikan. Terjadilah protes dan ketegangan antara orang tua siswa dan sekolah yang dituding “koruptor”. Setelah ditelusuri makna “gratis” yang semu itu maka simpati yang semula menggayuti masyarakat berbalik menjadi antipati luar biasa kepada pemerintah dan permohonan maaf kepada sekolah.
Baca Selengkapnya Silahkan Download File Dibawah Ini :
1. File Bentuk PDF
2. File Bentuk DOC
KATA KUNCI: wajib belajar, pendidikan gratis, dana BOS, Perda, minus malum.
PENDAHULUAN
Sudah lebih dari 25 tahun, tepatnya sejak tahun 1984, pemerintah mendengungkan kampanye wajib belajar pendidikan dasar atau disingkat wajar dikdas. Jaminan akses terhadap pendidikan dasar dalam rangka wajar 6 tahun yang kemudian disusul wajar 9 tahun sesungguhnya sudah menjadi komitmen antara pemerintah dan masyarakat, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa tujuan negara ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Maksud dan tujuan pelaksanaan wajib belajar adalah memberikan pelayanan kepada anak bangsa untuk memasuki sekolah dengan biaya murah dan terjangkau oleh kemampuan masyarakat banyak.Tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah terkait pengelolaan program wajar ialah
1) Pemerintah menetapkan kebijakan nasional pelaksanaan program wajib belajar;
2) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya berkewajiban menyelenggarakan program wajib belajar berdasarkan kebijakan nasional; dan
3) Pemerintah daerah dapat mengatur lebih lanjut pelaksanaan program wajib belajar, sesuai dengan kondisi daerah masing masing melalui Peraturan Daerah. Dengan demikian, penerapan wajib belajar di Indonesia menyimpang dari wajib belajar menurut pemahaman dan konsep internasional sebagaimana diungkap dalam suatu keputusan internasional Declaration on Education for All di Jomtien, Thailand, tahun 1990, yang menegaskan compulsory education. Wajib belajar versi internasional ini berimplikasi pada pembebasan penuh terhadap biaya pendidikan sehingga tidak ada halangan atau rintangan terhadap akses siswa mengenyam pendidikan bermutu, termasuk pendanaan pendidikan. Yang terjadi dan dilaksanakan di Indonesia ialah universal education yang memberikan akses yang bersifat pemerataan kepada anak untuk menikmati pendidikan. Dalam upaya melaksanakan pemerataan pendidikan kepada anak-anak bangsa,
Pemerintah tidak menutup mata terhadap kenyataan keterpurukan ekonomi di tengah masyarakat. Semakin banyak sekolah dibuka demi memberikan kesempatan pendidikan kepada anak bangsa yang berhasrat menimba pengetahuan dalam belajarnya, semakin banyak juga anak bangsa yang menyambut uluran tangan terhadap kesempatan menapatkan pendidikan ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian terbesar anak-anak bangsa itu berasal dari keluarga kurang mampu ekonominya. Hasrat dan tekad mereka menyekolahkan anaknya mengalami jalan buntu sehingga pemerintah menggagaskan dan kemudian melaksanakan kebijakan pendidikan gratis.
Kebijakan wajib belajar dan program pendidikan gratis merupakan komitmen pemerintah untuk meningkatkan akses pendidikan. Komitmen pendidikan gratis diungkap oleh Mendiknas Bambang Sudibyo pada bulan Oktober 2004, selain komitmen tentang akses ke pendidikan tinggi dan kesejahteraan guru. Mendiknas akan memberi perhatian yang sangat besar pada pendidikan dasar dan menengah karena berkaitan dengan hak warga negara atas pendidikan dan wajib bagi pemerintah untuk menyediakannya. Namun, ditegaskan bahwa pendidikan gratis dapat diwujudkan bagi segmen tertentu masyarakat, yang memang pantas untuk digratiskan. “Tapi untuk orang kaya, saya tidak akan memberikan gratis,” katanya ((R.R Ariyani – Tempo http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/ 2004/10/22/brk,20041022-08,id.html)
Program pendidikan gratis lebih gencar dicanangkan kembali menjelang akhir masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Iklan tentang pendidikan gratis untuk jenjang pendidikan dasar yang ditayangkan di layar kaca belum lama ini yang diprakarsai oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) justru menuai kritik karena menimbulkan kesimpangsiuran dan membingungkan masyarakat serta berdampak negatif terhadap masyarakat umumnya dan sekolah terutama sekolah swasta khususnya. Iklan Depdiknas dapat berbalik menjadi boomerang bagi pemerintah lantaran mengucurkan harapan hampa kepada masyarakat. Dalam iklan itu tidak dijelaskan keterbatasan makna “gratis” yang dimaksudkan pemerintah sehingga ditafsirkan sebagai”bebas dari segala biaya pendidikan”. Padahal, sebagaimana dikatakan di atas, jauh sebelumnya sudah ditegaskan oleh Mendiknas bahwa pendidikan gratis diwujudkan bagi segmen tertentu masyarakat yang memang pantas untuk digratiskan. Masyarakat yang belum tahu tentang pembatasan itu bersorak gembira mengantongi pendidikan “gratis” di tangannya. Mereka mengumpat dan memaki-maki kepada kepala sekolah (baca: sekolah) lantaran masih terjadi pungutan dari orang tua siswa. Masyarakat tidak mau memberikan bantuan bagi penyelenggaraan pendidikan. Terjadilah protes dan ketegangan antara orang tua siswa dan sekolah yang dituding “koruptor”. Setelah ditelusuri makna “gratis” yang semu itu maka simpati yang semula menggayuti masyarakat berbalik menjadi antipati luar biasa kepada pemerintah dan permohonan maaf kepada sekolah.
Baca Selengkapnya Silahkan Download File Dibawah Ini :
1. File Bentuk PDF
2. File Bentuk DOC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar