Jumat, Mei 07, 2010

MODEL PENERAPAN PENDIDIKAN MULTIKULTUR

MODEL PENERAPAN PENDIDIKAN MULTIKULTUR

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya pendidikan adalah suatu usaha sadar manusia mempersiapkan generasi muda. Dalam mempersiapkan generasi muda tersebut pendidikan harus mulai dari hal- hal yang dimiliki atau dari apa yang sudah diketahui. Apa yang sudah dimiliki dan apa yang sudah diketahui itu adalah apa yang terdapat pada lingkungan terdekat peserta didik terutama yang berkaitan dengan lingkungan budaya.
Pada pertengahan abad ke-20 Ki Hajar Dewantara mengemukakan bahwa pendidikan harus berakar pada kebudayaan yaitu “dalam garis-garis adab kemanusiaan seperti terkandung dalam pelajaran agama, maka pendidikan dan pengajaran nasional bersendi kepada agama dan kebudayaan bangsa serta menuju ke arah keselamatan dan kebahagiaan masyarakat“ Pendapat ini juga sejalan dengan pendapat Dewey yang mengatakan bahwa pendidikan harus berakar pada budaya peserta didik dan harus mempersiapkan peserta didik untuk dapat hidup dalam lingkungan budaya tersebut.
Dewasa ini dapat dikatakan bahwa tidak ada bangsa di dunia ini yang memiliki nilai dan budaya yang homogen. Indonesia sebagai salah satu negara besar di kawasan Asia Tenggara memiliki keragaman budaya yang kompleks. Motto “Bhineka Tunggal Ika” yang tercantum dalam lambang negara kita sangat tepat dalam menggambarkan realita yang ada di negara kita. Data secara antropologis menunjukkan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 300 suku bangsa yang memiliki keragaman sosial dan budaya. Kelompok-kolompok budaya besar seperti Aceh, Batak, Minangkabau, Dayak, Jawa, Bugis-Makasar, Ambon, Papua dan lain-lain adalah contoh dari keberagaman tersebut. Belum lagi kelompok-kelompok budaya yang relatif lebih kecil dibanding dengan kelompok pendukung kebudayaan sebelumnya.
Dalam realita yang seperti ini maka pendidikan multikultur merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari. Sehingga sedikitnya ada empat alasan mengapa pendidikan multikultur diperlukan, empat alasan tersebut adalah:
1. Laju perubahan dalam kehidupan manusia Indonesia yang disebabkan oleh kemajuan ekonomi dan teknologi informasi. Perubahan kehidupan yang disebabkan oleh kemajuan ekonomi telah memperbesar kesenjangan sosial (social gap) antara kelompok atas dan kelompok bawah, hal ini akan mengakibatkan semakin besarnya perbedaan dalam gaya hidup dan pandangan hidup dari kedua kelompok tersebut.
2. Adanya mobilitas penduduk yang tinggi, menyebabkan adanya pertemuan yang intens antarkelompok dengan budaya yang berbeda. Untuk dapat menghasilkan kegiatan yang produktif perlu kedua kelompok memiliki pemahaman yang baik mengenai budaya kelompok lain.
3. Kemajuan teknologi informasi telah membuka isolasi daerah pedesaan di Indonesia. Perkenalan dengan budaya-budaya lain dapat diperoleh secara mudah dari media elektronik yang mungkin saja dapat menimbulkan persepsi yang keliru dan tidak menguntungkan.
4. Munculnya berbagai konflik antar budaya yang banyak terjadi akhir-akhir ini telah memperlihatkan adanya kesalah fahaman budaya yang sangat besar dari berbagai kelompok yang bertikai. Dampak pertikaian dapat menimbulkan trauma sosial yang memerlukan proses pendidikan untuk memperbaikinya.

Dengan sejumlah alasan tersebut di atas, maka sudah sejak lama para ahli pendidikan dan kurikulum menyadari bahwa kebudayaan adalah salah satu landasan pengembangan kurikulum di samping landasan-landasan yang lain seperti perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan, teknologi informasi, politik dan ekonomi. Untuk itu maka kurikulum sebagai seperangkat rencana yang tertulis dan dilaksanakan dalam suatu proses pendidikan untuk mengembangkan potensi dan kualitas peserta didik seperti yang diharapkan bagi kehidupan dirinya maupun bagi bangsanya, dapat dikembangkan untuk mengatasi persoalan-persoalan multikultur seperti yang tersebut di atas.
Karena Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar telah ditetapkan sebagai standar nasional dan merupakan standar isi dari pelaksanaan kegiatan pendidikan di sekolah maka pengembangan kurikulum pendidikan multikultur dapat melalui pengembangan indikatornya. Untuk dapat mengembangkan indikator ke pendidikan multikutur ada tiga hal yang harus diperhatikan guru, yaitu :
1. Posisi peserta didik harus sebagai subyek belajar, dengan posisinya sebagai subyek, peserta didik akan melakukan berbagai upaya untuk mengkaji setiap mata pelajaran untuk dikaitkan dengan apa yang sudah dimilikinya.
2. Cara belajar peserta didik di latar belakangi dengan latar belakang budayanya
3. Lingkungan budaya peserta didik menjadi sumber belajar utama.

B. Tujuan Kegiatan
Kegiatan ini bertujuan untuk menyusun model pengembangan kurikulum inovatif, khususnya Model Penerapan Pendidikan Multikultur pada jenjang pendidikan menengah. sehingga dapat membantu guru dalam mengoptimalkan layanan pendidikan kepada peserta didik, yang pada gilirannya dapat mengembangkan potensi dan kemampuan peserta didik dalam menghadapi kehidupan nyata.

C. Ruang Lingkup
1. Lingkup jenjang dan satuan pendidikan:
Mengingat lingkup jenjang pendidikan menengah relatif luas maka pada kegiatan ini dibatasi hanya pada satuan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA).
2. Lingkup Mata Pelajaran:
Lingkup pengembangan model kurikulum inovatif yang mengintegrasikan pendidikan multikultur pada jenjang pendidikan menengah mencakup mata pelajaran sebagai berikut:
a. Pendidikan Agama
b. Pendidikan Kewarganegaraan
c. Bahasa Indonesia
d. Bahasa Inggris
e. Matematika
f. Fisika
g. Biologi
h. Kimia
i. Sejarah
j. Ekonomi
k. Sosiologi
l. Geografi
m. Seni Budaya
n. Pendidikan Jasmani dan Olahraga

Baca Selengkapnya Silahkan Download File Dibawah Ini :
1. File Bentuk PDF
2. File Bentuk DOC
3. Silabus dan RPP I
4. Silabus dan RPP II

MODEL KURIKULUM KTSP SD

MODEL KURIKULUM KTSP SD

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peralihan sistim pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi telah menjadikan perubahan paradigma berbagai unsur penyelenggaraan pemerintahan, termasuk pendidikan. Hal ini telah mendorong adanya perubahan dari berbagai aspek pendidikan termasuk kurikulum. Dalam kaitan ini kurikulum sekolah dasar pun menjadi perhatian dan pemikiran-pemikiran baru sehingga mengalami perubahan- perubahan kebijakan.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Berdasarkan Undang- Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 36 Ayat (2) ditegaskan bahwa kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Atas dasar pemikiran itu maka dikembangkanlah apa yang dinamakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Dengan demikian guru diharapkan menjadi lebih mengenal dengan baik dan lebih merasa memiliki kurikulum tersebut. Penyempurnaan kurikulum yang berkelanjutan merupakan keharusan agar kurikulum selalu sesuai dengan tuntutan kebutuhan.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) diharapkan mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan yang pada jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. KTSP dengan demikian merupakan acuan bagi perwujudan sekolah yang efektif, produktif, dan berprestasi. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SDN Gunongsekar I, Kecamatan Sampang, dikembangkan sebagai perwujudan dari kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Kurikulum ini disusun oleh satu tim penyusun yang terdiri atas unsur sekolah dan komite sekolah di bawah koordinasi dan supervisi Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sampang serta dengan bimbingan nara sumber dari Tim Bimbingan Teknis Pengembangan KTSP Pendidikan Dasar, Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas, Jakarta.
KTSP ini merupakan sebuah dokumen yang akan diimplementasikan sebagai panduan proses pembelajaran, baik di kelas maupun di luar kelas.
Pembelajaran hendaknya berlangsung secara efektif dan efisien yang mampu membangkitkan aktivitas dan kreativitas peserta didik. Dalam hal ini para pelaksana kurikulum dituntut untuk melaksanakannya sesuai dengan karakteristik daerah Kabupaten Sampang sebagai daerah industri dan wisata. Para pendidik juga hendaknya mampu menciptakan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan bagi peserta didik.

B. Landasan Penyusunan KTSP
1. UU. No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
1.1 Pasal 36 ayat 2
“Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.”
1.2 Pasal 38 ayat 2:
“Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.”
2. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Pendidikan Nasional, Pasal 17 ayat 1 : “Kurikulum tingkat satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik.”
3. Permen Diknas No. 6 tahun 2007 : Perubahan Permen no. 24 tahun 2006, yang berbunyi :“ Satuan pendidikan dapat mengadopsi atau mengadaptasi model kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menegah yang disusun oleh Badan Penellitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional bersama dengan unit terkait. “

C. Tujuan Penyusunan KTSP
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Sekolah Dasar Negeri
Gunongsekar I Kecamatan Sampang disusun dengan tujuan :
-Sebagai acuan dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah;
-Menjadikan kurikulum lebih sesuai dengan kebutuhan setempat;
-Menciptakan suasana pembelajaran di sekolah yang bersifat mendidik, mencerdaskan dan mengembangkan kreativitas anak.
-Menciptakan pembelajaran yang efektif, demokratis, menantang, menyenangkan, dan mengasyikkan.

D. Prinsip Pengembangan KTSP
KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah. Pengembangan KTSP mengacu pada SI dan SKL dan berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP, serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah/madrasah. Penyusunan KTSP untuk pendidikan khusus dikoordinasi dan disupervisi oleh dinas pendidikan provinsi, dan berpedoman pada SI dan SKL serta panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP .

Baca Selengkapnya Silahkan Download File Dibawah Ini :
1. File Bentuk PDF
2. File Bentuk DOC
3. Silabus dan RPP

Kamis, Mei 06, 2010

EVALUASI PELAKSANAAN KTSP

EVALUASI PELAKSANAAN KTSP

BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendinas) No. 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan No. 23 tahun 2006 tentang standar isi dan standar kompetensi lulusan disebutkan bahwa salah satu tugas pokok Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), dalam hal ini, Pusat Kurikulum adalah memonitor secara nasional penerapan Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, mengevaluasinya, dan mengusulkan rekomendasi kebijakan kepada BSNP dan/atau Menteri.
Salah satu yang menjadi bagian dari monitoring tersebut adalah melakukan monitoring secara nasional penerapan peraturan menteri pendidikan nasional dalam upaya meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelaksanaannya.
Untuk melaksanakan kegiatan tersebut perlu dilakukan serangkaian langkah kegiatan mencakup penyusunan panduan dan intrumen evaluasi, pelaksanaan evaluasi dan penyusunan laporan. Panduan digunakan sebagai acuan dalam mengembangkan instumen dan melaksanakan evaluasi untuk mendapatkan data dan informasi tentang pelaksanaan KTSP pada setiap daerah secara kualitatif maupun kuantitatif. Pelaksanaan evaluasi merupakan langkah kegiatan untuk mendapatkan data dan informasi penerapan KTSP pada daerah yang menjadi objek atau sasaran evaluasi. Penyusunan laporan memuat temuan, masukan atau rekomendasi berdasarkan data dan informasi yang diperoleh melalui evaluasi pelaksanaan KTSP agar kebijakan tentang pengembangan kurikulum dapat diterapkan secara efisien dan efektif.

B. TUJUAN
Kegiatan ini bertujuan untuk melaksanakan evaluasi pengembangan dan pelaksanaan kurikulum oleh satuan pendidikan sehingga didapat data dan informasi tentang tingkat penerapan KTSP secara kualitatif ataupun kuantitatif pada tiap daerah yang dapat dimanfaatkan satuan pendidikan (sekolah) dalam implementasi kurikulum pada tataran sekolah/daerah.

C. RUANG LINGKUP
Kegiatan ini memonitor dan mengevaluasi penerapan KTSP pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di 33 propinsi

D. HASIL YANG DIHARAPKAN
Melalui kegiatan ini akan dihasilkan laporan gambaran penerapan KTSP di 33 provinsi, pada satuan pendidikan dasar dan menengah

E. PELAKSANAAN

Kegiatan penyusunan laporan dilaksanakan pada tanggal 9 – 13 Desember 2008 di Cisarua, Kabupaten Bogor.

F. PESERTA
Peserta yang dilibatkan dalam kegiatan ini terdiri dari unsure: Satuan Pendidikan, LPMP, Perguruan Tinggi, dan Pusat Kurikulum. Rincian Peserta terlampir

BAB II KERANGKA BERPIKIR
A. STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN
Menurut Undang-Undang (UU) No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan kurikulum dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Hal ini dimaksudkan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan pada satuan pendidikan dengan kondisi dan kekhasan potensi yang ada di daerah
Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, kurikulum dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untukpendidikandasar danprovinsiuntuk pendidikan menengah.
Selanjutnya pada pasal 36 disebutkan bahwa pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan harus disempurnakan dan ditingkatkan secara berencana, terarah dan berkala sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Kata standar memiliki makna tingkat atau level kualitas atau keunggulan yang harus dicapai dengan kriteria, benchmark, persayaratan atau spesifikasi tertentu. Hal ini sesuai dengan pengertian di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan bahwa standar nasional pendidikan merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar nasional pendidikan terdiriatas:

Baca Selengkapnya Silahkan Download File Dibawah Ini :
1. File Bentuk PDF
2. File Bentuk DOC

Senin, Mei 03, 2010

PROGRAM PEMBANGUNAN PENDIDIKAN NASIONAL TAHUN 2010-2014

PROGRAM PEMBANGUNAN PENDIDIKAN NASIONAL TAHUN 2010-2014

6.1 Restrukturisasi Program dan Kegiatan Departemen Pendidikan Nasional
Departemen Pendidikan Nasional dipilih menjadi salah satu dari enam kementerian/lembaga yang menjadi pilot project untuk melakukan reformasi perencanaan dan penganggaran. Ketentuan tersebut tertuang dalam Nota Keuangan 2009 (Lampiran Pidato Presiden Agustus 2008) dan diperkuat dengan Surat Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan Bappenas No: 0298/D.8/01/2009, tanggal 19 Januari 2009. Arsitektur restrukturisasi program dan kegiatan tersebut disajikan pada Gambar 6.1.
Adapun landasan hukum dari restrukturisasi perencanaan dan penganggaran ini adalah UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Penyusunan Renstra 2010-2014 menjadi keharusan bagi setiap kementerian/ lembaga. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan keberlanjutan program sekaligus memudahkan pimpinan baru dalam menjalankan tugas. Renstra juga merupakan persyaratan utama bagi upaya mewujudkan akuntabilitas dan transparansi serta peningkatan kualitas output dan outcome dalam pemanfaatan APBN. Renstra akan menjadi acuan (guidance) pelaksanaan program dan kegiatan bagi setiap pimpinan unit kerja agar dalam melaksanakan tugas dan fungsinya semakin accountable.
Reformasi perencanaan dimaksudkan agar di dalam penyusunan Renstra tergambar secara jelas keterkaitan antara program, indikator kinerja, dan masukan (input) untuk setiap unit kerja. Reformasi perencanaan dan penganggaran dilakukan untuk lebih memantapkan kembali penerapan penganggaran berbasis kinerja (performance based budgeting) khususnya di Departemen Pendidikan Nasional sejak diberlakukannya undang-undang tentang penganggaran dan keuangan. Dalam reformasi perencanaan dan penganggaran ini setiap eselon I diharapkan menetapkan satu atau dua program, sedangkan eselon II dimungkinkan memiliki satu atau dua kegiatan sesuai dengan karakteristik tugas dan fungsinya. Program di
setiap eselon I dan kegiatan di seluruh eselon II harus mencerminkan Program Prioritas Nasional (Gambar 6.1). Melalui reformasi perencanaan dan penganggaran diharapkan diperoleh gambaran pembiayaan selama lima tahun mendatang. Pemerintah dapat menjamin penyediaan anggaran selama lima tahun mendatang. Penyusunan Renstra juga memperhatikan kemampuan fiskal untuk memenuhi amanat undang-undang bahwa Pemerintah harus menyediakan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN. Renstra 2010--
2014 ini disusun dengan menggunakan berbagai asumsi pertumbuhan ekonomi, serta kombinasi pendekatan bottom up dan top down dengan keterlibatan seluruh Eselon I dan Eselon II dari Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama. Pendekatan top down mengandung makna bahwa perencanaan ini memperhatikan pula ketersediaan anggaran sesuai dengan estimasi APBN. Dari sisi pelaksanaan, pendekatan bottom up dilakukan untuk memperoleh gambaran kebutuhan pendanaan guna mewujudkan kondisi ideal.
Dengan demikian akan tampak kesenjangan antara pendanaan minimal 20% APBN dengan kondisi ideal. Tantangan pemerintah adalah bagaimana memperkecil kesenjangan dalam arti penyediaan anggaran menuju kondisi ideal. Setelah tersusunnya Renstra ini, setiap unit utama harus menerjemahkannya ke dalam rencana tahunan yang terukur.

Baca Selengkapnya Silahkan Download File Dibawah Ini :
1. File Bentuk PDF
2. File Bentuk DOC

KERANGKA IMPLEMENTASI RENSTRA DEPDIKNAS

KERANGKA IMPLEMENTASI RENSTRA DEPDIKNAS

UU Sisdiknas menetapkan visi pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan nasional sebagaipranata sosial yang kuat dan berwibawa mengisyaratkan bahwa perlunya kerangka implementasi Renstra Depdiknas yang menjadi acuan bagi penyelenggara dan pengelola pendidikan nasional yaitu Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Departemen Pendidikan Nasional, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten, dan Pemerintah Daerah Kota menyelenggarakan dan mengelola sekolah dan perguruan tinggi umum. Departemen Agama menyelenggarakan dan mengelola pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, termasuk pendidikan madrasah. Departemen dan Lembaga Nondepartemen lain menyelenggarakan dan mengelola pendidikan vokasi dan kedinasan sesuai kewenangannya menurut ketentuan perundang-undangan. Sedangkan masyarakat menyelenggarakan dan mengelola pendidikan berbasis masyarakat yaitu pendidikan yang diselenggarakan oleh, untuk, dan dari masyarakat pada semua jenjang dan jalur pendidikan.

Implementasi merupakan tahapan kegiatan dalam satu siklus manajemen strategis yaitu: perencanaan (Plan), implementasi (Do), monitoring dan evaluasi (Check), serta tindakan perbaikan (Correction Action) yang sering disingkat PDCA. Sinkronisasi antara keempat kegiatan tersebut merupakan keniscayaan agar target pembangunan yang dinyatakan dalam IKK dalam Renstra dapat dilaksanakan dan diukur efektivitas pencapaiannya. Kerangka implementasi Renstra Pendidikan Nasional mencakup:
(i) Strategi pendanaan pendidikan;
(ii) Sistem tata kelola dan pengawasan internal, serta
(iii) Sistem monitoring dan evaluasi yang menjamin terlaksana fungsi serta tercapainya tujuan pendidikan nasional.

7.1 Strategi Pendanaan Pendidikan

7.1.1 Prinsip Pendanaan Pendidikan

UUD RI 1945 dalam Pasal 31 ayat (4) mengamanatkan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang•kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Sebagai implementasi dari amanat UUD tersebut UU Sisdiknas menetapkan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan.
Prinsip keadilan bahwa besarnya pendanaan pendidikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat disesuaikan dengan kemampuan masing- masing. Prinsip kecukupan bahwa pendanaan pendidikan cukup untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang memenuhi Standar Nasional Pendidikan. Prinsip keberlanjutan pendanaan pendidikan dapat digunakan secara berkesinambungan untuk memberikan layanan pendidikan yang memenuhi Standar Nasional Pendidikan.

Baca Selengkapnya Silahkan Download File Dibawah Ini :
1. File Bentuk PDF
2. File Bentuk DOC

STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKANPEMBANGUNAN PENDIDIKAN NASIONALTAHUN 2010-2014

STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKANPEMBANGUNAN PENDIDIKAN NASIONALTAHUN 2010-2014

Strategi dan arah kebijakan pembangunan pendidikan tahun 2010-2014 dirumuskan berdasarkan pada RPJMN2010-2014 dan evaluasi capaian pembangunan pendidikansampai tahun 2009 serta komitmen pemerintah pada konvensi internasional mengenai pendidikan, khususnya Konvensi Dakar tentang Pendidikan untuk Semua (Education For All), Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of Child), Millenium Development Goals (MDGs), dan World Summit on Sustainable Development.

5.1 Strategi Pembangunan Pendidikan Tahun 2010-2014
Strategi merupakan upaya yang sistematis melalui pengintegrasian dari tujuan, sasaran, kebijakan, program, dan kegiatan untuk mencapai misi Depdiknas yang telah ditetapkan. Keenam strategi pembangunan pendidikan nasional pada periode lima tahun mendatang tergambar dalam Gambar 5.1 s.d. Gambar 5.6. Setiap gambar mempunyai makna, yaitu kotak yang di tengah menunjukkan strategi, sedangkan kotak pada lingkaran kedua menunjukkan indikator outcome unit eselon I terkait dan kotak lingkaran terluar menunjukkan indikator output unit eselon II terkait.
Kode angka pada setiap kotak menunjukkan unit kerja terkait. Sekretariat Jenderal (1.0), Inspektorat Jenderal (2.0), Badan Penelitian dan Pengembangan (3.0), Ditjen Pendidikan Tinggi (4.0), Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (5.0), Ditjen Pendidikan Formal dan Informal (6.0), dan Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (7.0). Sementara itu, digit kedua menunjukkan unit eselon II terkait. Penjelasan setiap strategi adalah sebagai berikut.

5.1.1 Strategi I
Perluasan dan pemerataan akses PAUD bermutu dan berkesetaraan gender di semua provinsi, kabupaten, dan kota dilakukan melalui:
a) Penyediaan pendidik dan tenaga kependidikan PAUD bermutu yang merata antarprovinsi, kabupaten, dan kota yang meliputi pemenuhan guru TK/TKLB bermutu; penyediaan pendidik dan tenaga kependidikan PAUD nonformal bermutu; pelaksanaan diklat bidang TK bermutu; dan penyediaan tenaga kependidikan TK/TKLB bermutu yang merata antarprovinsi, kabupaten, dan kota;
b) perluasan dan pemerataan akses TK/TKLB bermutu dan berkesetaraan gender di semua provinsi, kabupaten, dan kota;
c) keluasan dan kemerataan akses PAUD nonformal bermutu dan berkesetaraan gender di semua provinsi, kabupaten, dan kota; serta
d) ketersediaan model pembelajaran, data dan informasi berbasis riset, dan standar mutu PAUD, serta keterlaksanaan akreditasi PAUD.

Kerangka berpikir penerapan strategi pencapaian tujuan yang dikaitkan dengan program dan kegiatan pembangunan pendidikan nasional 2010-2014 dapat dijabarkan pada Gambar 5.1.
Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan anak untuk memperoleh proses pendidikan. Periode ini adalah masa yang berharga dan sangat penting bagi seorang anak untuk mengenali berbagai macam fakta di lingkungannya sebagai stimulan terhadap perkembangan kepribadian, psikomotor, kognitif maupun sosialnya yang dapat diperoleh melalui pendidikan anak usia dini (PAUD), yang meliputi TK/ RA untuk anak usia 5-6 tahun, serta kelompok bermain, taman penitipan anak, dan berbagai program serupa untuk anak usia 3-4 tahun.
Selain itu beberapa muatan penyiapan anak usia dini untuk belajar di SD/MI diberikan juga di Posyandu dan program Bina Balita. Posyandu yang pada awalnya merupakan program layanan kesehatan bagi ibu dan anak usia dini, kini telah dilengkapi dengan muatan pendidikan. Demikian juga Bina Balita yang memberikan layanan pendidikan pemeliharaan kesehatan anak bagi orangtua, terutama ibu, yang memiliki anak usia di bawah 5 tahun.

5.1.2 Strategi II
Perluasan dan pemerataan akses pendidikan dasar universal bermutu dan berkesetaraan gender di semua provinsi, kabupaten, dan kota dilakukan melalui:
a) penyediaan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan dasar bermutu yang merata antarprovinsi, kabupaten, dan kota yang meliputi penyediaan guru SD/SDLB dan SMP/SMPLB bermutu; penyediaan pendidik dan tenaga kependidikan Paket A dan Paket B bermutu; penyediaan diklat bidang SD/SDLB dan SMP/SMPLB bermutu; penyediaan tenaga kependidikan SD/SDLB dan SMP/SMPLB bermutu yang merata antarprovinsi, kabupaten, dan kota;
b) perluasan dan pemerataan akses SD/SDLB dan SMP/SMPLB bermutu dan berkesetaraan gender di semua provinsi, kabupaten, dan kota;
c) perluasan dan pemerataan akses pendidikan Paket A dan Paket B bermutu dan berkesetaraan gender di semua provinsi, kabupaten, dan kota; serta
d) penyediaan model pembelajaran, data dan informasi berbasis riset, dan standar
mutu pendidikan dasar, serta keterlaksanaan akreditasi pendidikan dasar.
Kerangka berpikir penerapan strategi pencapaian tujuan yang dikaitkan dengan program dan kegiatan pembangunan pendidikan nasional 2010- 2014 dapat dijabarkan pada Gambar 5.2 berikut.

Baca Selengkapnya Silahkan Download File Dibawah Ini :
1. File Bentuk PDF
2. File Bentuk DOC

Minggu, Mei 02, 2010

SASARAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN TAHUN 2010-2014

SASARAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN TAHUN 2010-2014

Untuk merealisasikan tujuan pendidikan nasional yang bersifat umum dan normatif sebagaimana dipaparkan pada Bab III, maka pada setiap periode lima tahunan masa kerja kabinet perlu dirumuskan tujuan dan sasaran-sasaran konkrit yang ingin dicapai oleh Depdiknas pada masa tersebut.
Tujuan dan sasaran yang ingin dicapai melalui pembangunan pendidikan tahun 2010-2014 adalah sebagai berikut:
1) Tercapainya Keluasan dan Kemerataan Akses PAUD Bermutu dan Berkesetaraan Gender di Semua Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang dicirikan dengan:
a) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) diharapkan dapat mewujudkan anak usia dini yang cerdas, sehat, bugar, ceria, berakhlak mulia, dan berwawasan PuP3B sesuai dengan karakteristik dan tahap tumbuh kembang anak, serta memiliki kesiapan fisik dan mental dalam memasuki pendidikan lebih lanjut;
b) Pada tahun 2014 diharapkan APK PAUD nasional mencapai 72,9%, sekurang-kurangnya
75% provinsi mencapai APK ≥ 60%, sekurang-kurangnya 75% kota mencapai APK ≥ 75%, dan sekurang-kurangnya 75% kabupaten mencapai APK ≥ 50%;
c) Kualifikasi untuk pendidik PAUD formal (TK/TKLB) diharapkan 85% berpendidikan minimal S-1/D-4 dan 85% bersertifikat, sedangkan untuk Pendidik PAUD nonformal diharapkan telah dilatih sekurang-kurangnya 55% pada tahun 2014.
2) Tercapainya Keluasan dan Kemerataan Akses Pendidikan Dasar Universal Bermutu dan Berkesetaraan Gender di Semua Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang berindikasikan sebagai berikut.
a) APK SD/MI/Paket A nasional mencapai 119,1%;
b) APM SD/MI/Paket A nasional mencapai 96%; sekurang-kurangnya 85% provinsi mencapai
APM ≥ 95%; sekurang-kurangnya 90% kota mencapai APM ≥ 96%, dan sekurang-kurangnya
90% kabupaten mencapai APM ≥ 94%;
c) APK SMP/MTs/Paket B nasional mencapai 110%; sekurang-kurangnya 90% provinsi mencapai APK ≥ 95%; sekurang-kurangnya 80% kota mencapai APK ≥ 115%, dan sekurang- kurangnya 85% kabupaten mencapai APK ≥ 90%;
d) Angka Putus Sekolah SD maksimal 0,7% dan SMP maksimal 1%, angka melanjutkan
SD/MI/Paket A ke SMP/MTs/Paket B sekurang-kurangnya 97%;
e) Hasil ujian nasional SD/SDLB dan SMP/SMPLB sekurang-kurangnya 7 selama 5 tahun berturut-turut;
f) Sekurang-kurangnya 90% SD/SDLB dan 90% SMP/SMPLB berakreditasi;
g) Sekurang-kurangnya 15% SD/SDLB dan 27% SMP/SMPLB berakreditasi minimal B;
h) Sekurang-kurangnya 60% SD/SDLB dan 70% SMP/SMPLB melaksanakan PuP3B;
i) Sekurang-kurangnya 40% program Paket A dan 40% program Paket B berakreditasi;
j) Sekurang-kurangnya 40% SD/SDLB dan 60% SMP/SMPLB melaksanakan e-pembelajaran;
k) Sekurang-kurangnya 85% kabupaten/kota memiliki SD SBI atau RSBI;
l) Sekurang-kurangnya 75% kabupaten/kota memiliki SMP SBI atau RSBI;
m) Sekurang-kurangnya 85% kota memiliki 2 SMP SBI atau RSBI;
n) Sekurang-kurangnya 82% Guru SD/SDLB berkualifikasi S-1/D-4 dan 80% bersertifikat;
o) Sekurang-kurangnya 98% Guru SMP/SMPLB berkualifikasi S-1/D-4 dan 90% bersertifikat;
p) Pendidikan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun di semua SD/SDLB dan SMP/SMPLB Negeri berstandar pelayanan minimal sampai dengan berstandar nasional diselenggarakan tanpa memungut biaya operasi sekolah dan yang melanggar dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pendidikan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun di SD/SDLB dan SMP/SMPLB swasta yang mendapatkan subsidi BOS tidak lagi memungut biaya operasional sekolah yang memberatkan peserta didik; Tidak ada lagi lembaga penyelenggara Paket A dan Paket B memungut biaya pendidikan;
q) Sekurang-kurangnya 80% SD/SDLB dan 90% SMP/SMPLB telah menerapkan KTSP dengan baik.
3) Tercapainya Keluasan dan Kemerataan Akses Pendidikan Menengah Bermutu, Berkesetaraan Gender, dan Relevan dengan Kebutuhan Masyarakat, di Semua Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang berindikasikan sebagai berikut.
a) APK nasional melampaui 85%, sekurang-kurangnya 60% provinsi mencapai APK minimal
80%, sekurang-kurangnya 65% kota mencapai APK minimal 85%, dan sekurang-kurangnya
70% kabupaten mencapai APK minimal 65%;
b) Rasio peserta didik SMA:SMK = 33:67;
c) Sekurang-kurangnya 95% SMA/SMLB berakreditasi, dan 40%-nya berakreditasi minimal B;
d) Sekurang-kurangnya 90% SMK berakreditasi, dan 30%-nya berakreditasi minimal B;
e) Sekurang-kurangnya 80% SMA/SMLB/SMK melaksanakan PuP3B;
f) Sekurang-kurangnya 50% program Paket C dan 25% program Paket C Kejuruan berakreditasi;
g) Sekurang-kurangnya 75% SMA/SMLB dan 70% SMK melaksanakan e-pembelajaran;
h) Sekurang-kurangnya 70% kabupaten/kota memiliki SMA/SMLB dan SMK SBI atau RSBI;
i) Sekurang-kurangnya 98% guru SMA/SMLB/SMK berkualifikasi S-1/D-4, dan sekurang- kurangnya  90%  bersertifikat;
j) Hasil Ujian Nasional SMA dan SMK minimal 7 selama 5 tahun berturut-turut;
k) Sekurang-kurangnya 1.500 SMA/SMLB dan 2.000 SMK bersertifikat ISO 9001:2008;
l) Sekurang-kurangnya 95% SMA/SMLB dan 85% SMK telah menerapkan KTSP dengan baik.
4) Tercapainya Keluasan dan Kemerataan Akses Pendidikan Tinggi Bermutu, Berdaya Saing Internasional, Berkesetaraan Gender dan Relevan dengan Kebutuhan Bangsa dan Negara yang berindikasikan sebagai berikut.
a) APK PT dan PTA usia 19-22 tahun mencapai 30%; dan APK prodi sains natural dan teknologi sebesar 12%;
b) Sertifikat ISO 9001:2008 yang diperoleh PTN sebanyak 450 sertifikat dan yang diperoleh PTS
sebanyak 600 sertifikat;
c) Sekurang-kurangnya 27 PT memiliki laboratorium sains bersertifikat ISO 17025;
d) Sekurang-kurangnya 90% prodi PT berakreditasi dan 63% berakreditasi minimal B;
e) Sekurang-kurangnya 3 PT masuk peringkat 300 terbaik dunia dan sekurang-kurangnya 7 PT (kumulatif) masuk dalam peringkat 500 terbaik dunia versi THES, sekurang-kurangnya 12 PT masuk dalam 200 terbaik Asia versi THES;
f) Sekurang-kurangnya 85% dosen program S-1 dan program diploma berkualifikasi minimal S-2;
g) Sekurang-kurangnya 90% dosen pasca sarjana (S-2, profesi, spesialis, dan S-3) berkualifikasi S-3;
h) Sekurang-kurangnya 75% dosen PT telah bersertifikat;
i) Sekurang-kurangnya 70% PT berakses e-journal;

Baca Selengkapnya Silahkan Download File Dibawah Ini :
1. File Bentuk PDF
2. File Bentuk DOC

VISI DAN MISI PENDIDIKAN NASIONAL

VISI DAN MISI PENDIDIKAN NASIONAL

3.1 Visi,Misi dan Tujuan Pendidikan Nasional
Pembangunan Indonesia pada masa depan bersandar pada visi Indonesia jangka panjang, yaitu terwujudnya negara-bangsa(nation-state)Indonesia modern yang aman dan damai, adil dan demokratis,serta sejahtera dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,kemerdekaan,dan persatuan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Pembangunan pendidikan nasional ke depan didasarkan pada paradigma membangun manusia Indonesia seutuhnya, yang berfungsi sebagai subyek,yang memiliki kapasitas untuk mengaktualisasikan potensi dan dimensi kemanusiaan secara optimal.Dimensi kemanusiaan itu mencakup tiga hal paling mendasar,yaitu
(a) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan,akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul,dan kompetensi estetis;
(b) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
(c) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis,kecakapan praktis,dan kompetensi kinestetis.Fokus pembangunan pendidikan nasional ke depan diarahkan untuk meningkatkan mutu dan daya saing SDM Indonesia pada era perekonomian berbasis pengetahuan (knowledge based economy) dan pembangunan ekonomi kreatif.
Pendidikan merupakan proses sistematis untuk meningkatkan martabat manusia secara holistik, yang memungkinkan ketiga dimensi kemanusiaan paling elementer di atas dapat berkembang secara optimal.Dengan demikian,pendidikan seyogyanya menjadi wahana strategis bagi upaya mengembangkan segenap potensi individu,sehingga cita-cita membangun manusia Indonesia seutuhnya dapat tercapai.
Selain itu, pembangunan pendidikan nasional juga diarahkan untuk membangun karakter dan wawasan kebangsaan bagi peserta didik, yang menjadi landasan penting bagi upaya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam hal ini, pemerintah mempunyai kewajiban konstitusional untuk memberi pelayanan pendidikan yang dapat dijangkau oleh seluruh warga negara. Oleh karena itu, upaya peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan yang lebih berkualitas merupakan mandat yang harus dilakukan bangsa Indonesia sesuai dengan tujuan negara Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,perdamaian abadi dan keadilan sosial.
UUD 1945 mengamanatkan mengenai pentingnya pendidikan bagi seluruh warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28C Ayat(1)bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi,seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia,dan Pasal 31 Ayat(1) bahwa setiap warga negara berhak mendapatpendidikan.
Sesuai Ketentuan Umum Penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Departemen Pendidikan Nasional berkewajiban
untuk mencapai Visi Pendidikan Nasional sebagai berikut:
Terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Dalam rangka mewujudkan Visi Pendidikan Nasional dan sesuai dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Misi Pendidikan Nasional adalah:
1) Mengupayakan perluasan danpemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
2) Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
3) Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;
4) Meningkatkan profesionalisme dan akuntabilitas lembaga pendidikan dan pengelolanya sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan,keterampilan,pengalaman, sikap,dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan
5) Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.

Tujuan Pendidikan Nasional menurut Undang-Undang Sisdiknas adalah:
1) Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
2) Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
3) Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;
4) Meningkatkan profesionalisme dan akuntabilitas lembaga pendidikan dan pengelolanya sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap,dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan
5) Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.

Baca Selengkapnya Silahkan Download File Dibawah Ini :
1. File Bentuk PDF
2. File Bentuk DOC

KONDISI UMUM PENDIDIKAN PADA AKHIR TAHUN 2009

KONDISI UMUM PENDIDIKAN PADA AKHIR TAHUN 2009

2.1 Hasil Capaian Pembangunan Pendidikan Sampai Tahun 2009

Pembangunan pendidikan merupakan bagian dari upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia.Melalui pembangunan pendidikan diharapkan dapat dibentuk manusia yang berkualitas utuh yang salah satu cirinya adalah sehat jasmani dan rohani.
Pada periode 2005-2009 Depdiknas telah berhasil mengembangkan kebijakan-kebijakan terobosan,yaitu (1)pendanaan massal pendidikan,
(2)peningkatan kualifikasi dan sertifikasi pendidik secara massal,
(3)penerapan TIK secara massal untuk e-pembelajaran dan e-administrasi,
(4)pembangunan prasarana dan sarana pendidikan secara massal,
(5)rehabilitasi prasarana dan sarana pendidikan secara massal,
(6) reformasi perbukuan secara mendasar,
(7)peningkatan mutu dan daya saing pendidikan dengan pendekatan komprehensif,
(8)perbaikan rasio peserta didik SMK:SMA,
(9) otonomisasi satuan pendidikan,
(10) intensifikasi dan ekstensifikasi pendidikan nonformal dan informal untuk menggapaikan layanan pendidikan kepada peserta didik yang tak terjangkau pendidikan formal (reaching the unreached),dan (11)penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pendidikan dengan pendekatan komprehensif.
Berkat kebijakan terobosan tersebut, pembangunan pendidikan telah menunjukkan peningkatan akses dan kualitas pendidikan meskipun masih banyak yang harus ditingkatkan. Pendidikan sebagai salah satu aspek dalam penentuan human development index (HDI)belum mampu mengangkat peringkat HDI Indonesia dibandingkan dengan indeks pembangunan manusia negara-negara di lingkungan Asia Tenggara,seperti terlihat pada Tabel 2.1.
Angka HDI Indonesia meningkat dari tahun ke tahun, tetapi masih di bawah negara- negara lain di Asia Tenggara seperti Philipina,Thailand, Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Hal ini disebabkan oleh penanganan masalah yang berkaitan dengan indikator HDI seperti buta aksara,lama bersekolah, angka kematian ibu dan anak, serta pendapatan per kapita dilaksanakan lebih agresif di negara-negara tersebut dibandingkan dengan di Indonesia.Oleh karena itu,pembangunan pendidikan perlu terus ditingkatkan pada semua jalur,jenis dan jenjang pendidikan,baik yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat secara terpadu. Reformasi pendidikan merupakan proses panjang untuk mendorong terwujudnya daya saing bangsa.
Hingga akhir tahun 2009, pembangunan pendidikan di Indonesia telah menunjukkan banyak kemajuan dan hasil yang cukup menggembirakan pada semua jalur,jenis,dan jenjang pendidikan. Secara umum capaian hasil pembangunan pendidikan tersebut dikelompokkan ke dalam aspek 1)Perluasan dan Pemerataan Akses Pendidikan,(2) Peningkatan Mutu dan Daya Saing Pendidikan,dan(3)Penguatan Tata Kelola, Akuntabilitas, dan Citra Publik.

2.1.1 Perluasan dan Pemerataan Akses Pendidikan
Perluasan akses pendidikan diarahkan untuk memperluas daya tampung satuan pendidikan dengan tujuan akhir agar semua warga negara mempunyai kesempatan yang sama dalam mendapatkan layanan pendidikan. Selama kurun waktu 2005-2009 telah dilaksanakan sejumlah program perluasan akses pendidikan sebagai
implementasi dari kebijakan pokok perluasan dan pemerataan akses pendidikan. Pencapaian yang diperoleh dari implementasi tersebut menunjukkan adanya peningkatan kinerja Departemen Pendidikan Nasional selama rentang waktu lima tahun,seperti pada Tabel 2.2.
Upaya perluasan akses pendidikan telah berhasil meningkatkan angka partisipasi kasar (APK)jenjang PAUD dari 39,09% pada tahun 2004 dan diperkirakan menjadi 53,90% pada tahun 2009.Pada jenjang SD/MI/Paket A terjadi peningkatan angka partisipasi kasar(APK)dari 112,5% pada tahun 2004 dan diperkirakan menjadi 116,95% pada tahun 2009. Seiring dengan itu angka partisipasi murni(APM)dari 94,12% pada tahun 2004 dan diperkirakan menjadi 95,40% pada tahun 2009.
Pada jenjang SMP/MTs/sederajat APK meningkat dari 81,22% pada tahun 2004 dan diperkirakan menjadi 98,00%pada tahun 2009.Demikian pula APK SMA/SMK/MA/sederajat, APK meningkat dari 49,01% pada tahun 2004 dan diperkirakan menjadi 68,20% pada tahun 2009.Pada jenjang pendidikan tinggi terjadi peningkatan APK dari 14,62% pada tahun 2004 dan diperkirakan menjadi 18,50% pada tahun 2009. Sementara itu,tingkat literasi penduduk usia lebih dari 15 tahun meningkat dari 89,79% pada tahun 2004 dan diperkirakan menjadi 95,05% pada tahun 2009.
Walaupun dari segi perluasan akses secara nasional hasil yang dicapai pada tahun 2008 tersebut pada semua jenjang melampaui target, dari segi pemerataan akses antarprovinsi terlihat disparitas yang cukup lebar.Gambar 2.1 sampai dengan Gambar 2.3 berturut-turut memperlihatkan sebaran capaian APK PAUD,
APM SD/MI/Paket A, APK SMP/MTs/Paket C, dan APK SMA/SMK/MA/Paket C.

Baca Selengkapnya Silahkan Download File Dibawah Ini :
1. File Bentuk PDF
2. File Bentuk DOC

LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN NASIONAL

LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar(UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa salah satu tujuan Negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.Pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia dan untuk itu setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial,ras, etnis,agama,dan gender.
Pemerataan akses dan peningkatan mutu pendidikan akan membuat warga negara Indonesia memiliki kecakapan hidup(life skills)sehingga mendorong tegaknya pembangunan manusia seutuhnya serta masyarakat madani dan modern yang dijiwai nilai-nilai Pancasila.
Menteri Pendidikan Nasional sebagai penanggung jawab sistem pendidikan nasional bertekad mewujudkan cita-cita luhur tersebut dengan mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional(RPJMN)Tahun 2010-2014 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional(RPJPN)Tahun 2005-2025.
Berdasarkan RPJPN tersebut,Departemen Pendidikan Nasional menyusun Rencana Pembangunan Pendidikan Nasional Jangka Panjang(RPPNJP)2005-2025,seperti yang tertuang di dalam Permendiknas Nomor 32 Tahun 2005, tentang Renstra Depdiknas Tahun 2005-2009.Rencana tersebut dijabarkan ke dalam empat tema pembangunan pendidikan, yaitu tema pembangunan I(2005-2009)terfokus pada peningkatan kapasitas dan modernisasi; tema pembangunan II(2010-2015)terfokus pada penguatan pelayanan; tema pembangunan III(2015-2020)terfokus pada daya saing regional dan tema pembangunan IV (2020-2025)terfokus pada daya saing internasional.Tema pembangunan dan penetapan tahapan tersebut selanjutnya perlu disesuaikan dengan RPJPN 2005-2025 dan RPJMN 2010-2014 serta perkembangan kondisi yang akan datang.
Peraturan Presiden Nomor……. tentang RPJMN Tahun 2010-2014 mengamanatkan tiga misi pembangunan nasional,yaitu (1)mewujudkan negara Indonesia yang aman dan damai;(2) mewujudkan bangsa Indonesia yang adil dan demokratis;serta (3)mewujudkan bangsa Indonesia yang sejahtera.(akan disesuaikan dengan visi dan misi Presiden terpilih periode 2010-2014)RPJMN Tahun 2010--2014 ditujukan untuk lebih memantapkan penataan Indonesia di segala bidang dengan menekankan upaya peningkatan kualitas SDM termasuk pengembangan kemampuan ilmu dan teknologi serta penguatan daya saing perekonomian. RPJMN Tahun 2010--2014 tersebut, selanjutnya dijabarkan ke dalam Rencana Strategis (Renstra) Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014.
Renstra Depdiknas menjadi pedoman bagi semua tingkatan pengelola pendidikan, mulai dari pemerintah pusat, pemerintahan provinsi, pemerintahan kabupaten dan kota, satuan pendidikan, dan masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan serta mengevaluasi program dan kegiatan pembangunan pendidikan nasional.

1.2 Landasan Filosofis Pendidikan Nasional
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan UU Sisdiknas amat mendasar dalam memberikan landasan filosofis serta berbagai prinsip dasar dalam pembangunan pendidikan,seperti filosofi pendidikan nasional berdasarkan filsafat Pancasila, paradigma pendidikan dan pemberdayaan manusia seutuhnya, paradigma pembelajaran sepanjang hayat berpusat pada peserta didik, paradigma pendidikan untuk semua yang inklusif, dan Paradigma Pendidikan untuk Perkembangan, Pengembangan,dan/atau Pembangunan Berkelanjutan (PuP3B atau Education for Sustainable Development).Penjelasan singkat dari filosofi pendidikan itu adalah sebagai berikut.

1.2.1 Pendidikan Nasional Berdasarkan Filsafat Pancasila
Secara mendasar landasan filsafat Pancasila menyiratkan bahwa sistem pendidikan nasional menempatkan peserta didik sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dengan segala fitrahnya dengan tugas memimpin pembangunan kehidupan yang berharkat dan bermartabat, sebagai makhluk yang mampu menjadi manusia yang bermoral, berbudi luhur, dan berakhlak mulia. Oleh karena itu,pendidikan merupakan upaya memberdayakan peserta didik untuk berkembang menjadi manusia seutuhnya, yaitu yang menjunjung tinggi dan memegang dengan teguh norma-norma

Baca Selengkapnya Silahkan Download File Dibawah Ini :
1. File Bentuk PDF
2. File Bentuk DOC

PENDIDIKAN PENANGGULANGAN BENCANA

PENDIDIKAN PENANGGULANGAN BENCANA

Hermana Somantrie
Pusat Kurikulum, Balitbang-Depdiknas
ABSTRAK: Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan terhadap berbagai macam bencana, baik alam maupun nonalam, seperti: gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapai, angin ribut, tornado, banjir, longsor, kekeringan, kelaparan, kebakaran, penyakit berbahaya dan menular, malapraktik teknologi, dan kerusuhan/komflik sosial.
Pada hakikatnya, manusia tidak bisa meramalkan kapan akan terjadi suatu bencana. Hal yang dapat dilakukan oleh manusia yaitu mengantisipasi dan meningkatkan kewaspadaan serta mengurangi dampak terjadinya suatu bencana. Dengan banyaknya macam bencana, Pemerintah dan pemerintah daerah perlu untuk menyelenggarakan pendidikan penanggulangan bencana atau pengurangan risiko bencana yang manjadi bagian dari kurikulum mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan jenjang pendidikan dasar dan menengah. Pentingnya menyelenggarakan pendidikan semacam ini yaitu untuk melindungi anak-anak dari dampak bencana yang terjadi di sekitar lingkungan mereka.
KATA KUNCI: bencana alam, bencana nonalam, pendidikan penanggulangan bencana, pengurangan risiko bencana, kurikulum sekolah.

PENDAHULUAN
Mungkin sudah kodratnya, negara yang namanya Indonesia harus menjadi lahan terjadinya berbagai bencana yang selalu datang berantai setiap masa, baik sebelum maupun setelah proklamasi kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Mengapa bisa terjadi seperti itu? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut harus menggunakan logika faktual. Fakta yang kita hadapi adalah bahwa kondisi geografis, geologis, topografis, hidrologis, metereologis, dan sosial budaya negara Indonesia telah menempatkan pada posisi wilayah dengan potensi kekayaan sumber daya yang tiada terhingga banyaknya, baik jenis maupun jumlahnya. Namun dibalik potensi tersebut, Indonesia juga memiliki potensi lainnya yang sangat memungkinkan setiap saat negara ini akan mengalami peristiwa bencana dari mulai yang paling ringan sampai dengan yang paling dahsyat.
Jenis-jenis bencana yang sering menimpa sebagian besar wilayah Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dikelompokkan ke dalam bencana alam, bencana non-alam, dan bencana sosial sebagaimana yang dituangkan dalam Tabel 1.
Sebenarnya dampak buruk suatu bencana dapat diminimalisir dengan berbagai upaya, namun hal tersebut seringkali tidak menjadi prioritas utama khususnya di negara-negara yang sedang berkembang. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak suatu bencana menurut UNESCO Bangkok (2005) yaitu: anticipating, educating, and informing are the keys to reducing the deadly effect of such natural disasters. Unfortunately, such activities have not been given priority.
Dengan pertimbangan tersebut, Indonesia yang memiliki potensi sangat rawan atau rentan terhadap bencana setiap saat sudah semestinya memprioritaskan upaya untuk mewujudkan pendidikan yang memberikan pengalaman belajar dalam menghadapi dan mengurangi segala macam risiko yang diakibatkan oleh suatu bencana bagi peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Asumsi yang harus dijadikan sebagai acuan dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut adalah bahwa suatu bencana akan selalu mengintai kehidupan manusia setiap saat. Oleh karena itu, manusia perlu memiliki pengetahuan untuk menghadapi segala kemungkinan jika terjadi suatu bencana tanpa adanya peringatan awal dan mengurangi dampak yang ditimbulkannya.
Tidak ada seorang manusia yang bisa meramalkan kapan akan terjadi suatu bencana di suatu tempat tertentu karena bencana bisa terjadi sewaktu-waktu tanpa peringatan terlebih dahulu. Jadi, manusia pada dasarnya tidak akan pernah bisa menghindari bencana apa pun yang akan menimpa terhadapnya. Namun demikian, manusia sebagai makhluk berpikir perlu memiliki kemampuan untuk mengamati dan mengantisipasi fenomena yang mengarah pada kemungkinan terjadinya bencana dan menanggulangi segala dampak yang ditimbulkannya.
Menurut Smith (2004) bahwa: In theory, the safest response to environmental hazard is to avoid all danger. In practice, this is impossible, largely due to the development pressure on land. Even after severe disasters, inertia and the remaining infrastructure encourage rebuilding on the same - or a nearby - site. Oleh karena manusia tidak akan mungkin bisa menghindari bencana, manusia perlu mempersiapkan atau meningkatkan kesiap-siagaan jika sewaktu-waktu terjadi bencana dan kemudian mengurangi dampak atau risiko dari persitiwa bencana tersebut. Bencana pada umumnya membawa dampak buruk terhadap segala macam lingkungan, benda, dan kehidupan yang terdapat disekitarnya sebab sebagaimana yang dikatakan oleh Smith bahwa: Natural disasters are extreme, sudden events caused by environmental factors that injure people and damage property.
Meskipun semua pihak sudah tahu negara ini seringkali terkena bencana yang ganas dan mengerikan, namun sangat disayangkan masih banyak pihak atau orang yang tidak melakukan tindakan yang cepat, tanggap, dan antisipatif. Penulisan artikel ini bertujuan untuk menginformasikan tentang: (1) hakikat, potensi, dan jenis-jenis bencana yang seringkali menimpa sebagian wilayah negara Indonesia; (2)

Baca Selengkapnya Silahkan Download File Dibawah Ini :
1. File Bentuk PDF
2. File Bentuk DOC

Sabtu, Mei 01, 2010

PERIMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH UMUM DAN PENDIDIKAN MENENGAH KEJURUAN

PERIMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH UMUM DAN PENDIDIKAN MENENGAH KEJURUAN

Prayitno
Pusat Statistik Pendidikan email: prayit_psp@yahoo.co.id
ABSTRAKS: Rencana Strategis (Renstra) Depdiknas 2005-2009 dinyatakan bahwa rasio pendidikan menengah kejuruan dan pendidikan menengah umum ditargetkan sebesar 50:50 pada tahun 2010 dan 70:30 pada tahun 2015. Kebijakan ini diharapkan dapat memecahkan salah satu permasalahan pengangguran.
Peningkatan pendidikan kejuruan bertujuan menyiapkan tenaga terampil untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja sesuai dengan tuntutan dunia industri. Kebijakan ini dilaksanakan dengan meningkatkan daya tampung dan kualitas pendidikan menengah kejuruan serta tetap menjaga keseimbangan dan kualitas pendidikan menengah umum. Tulisan ini bertujuan mengkaji apakah target perimbangan 70:30 tersebut realistik bisa dicapai. Kajian ini mencakup perbandingan antar negara, nilai balik pendidikan, proyeksi pendidikan menengah umum dan menengah kejuruan, serta perkembangan pendidikan di kabupaten/kota sampel. Hasil kajian menunjukkan bahwa tidak ada rasio ideal perimbangan SMA dan SMK. Proporsi SMA dan SMK tidak memberikan sumbangan yang signifikan pada penurunan tingkat pengangguran, nilai balik pendidikan SMK lebih rendah dari SMA, minat masuk SMK lebih rendah dari SMA. Oleh karena itu, target perimbangan SMK dan SMA sebesar 70:30 pada tahun 2015 perlu ditinjau kembali.
KATA KUNCI: pendidikan umum, pendidikan kejuruan, nilai balik pendidikan, nilai balik individu, dan nilai balik masyarakat.

PENDAHULUAN
Menurut pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20, Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pendidikan Menengah disebutkan bahwa “Pendidikan menengah terdiri dari pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan”. Selanjutnya, dalam ayat (3) disebutkan bahwa “Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK)”. Pendidikan menengah umum dirancang untuk lulusan SMP yang akan menempuh jalur akademik atau kelak akan melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Pendidikan kejuruan bertujuan memberikan bekal keterampilan pada bidang tertentu agar setelah lulus siap masuk lapangan kerja (tamat mampu bekerja). Dengan ketentuan yang ada saat ini, lulusan SMK bisa melanjutkan ke perguruan tinggi lewat jalur politeknik dan diploma IV atau bahkan universitas. (Depdiknas, 2003).
Dalam Rencana Strategis (Renstra) Depdiknas 2005-2009, Menuju Pembangunan Pendidikan Nasional Jangka Panjang 2025 disebutkan bahwa pada tahun 2009 target rasio jumlah SMA dan SMK sebesar 60:40, tahun 2015 sebesar 50:50, tahun 2020 sebesar 40:60, dan tahun 2025 sebesar 30:70 (Depdiknas, 2005). Sementara itu, berdasarkan Statistik Pendidikan Menengah tahun 2005/2006 yang diterbitkan oleh Pusat Statistik Pendidikan, rasio jumlah SMA dan SMK sebesar 61:39. (PSP, 2006a dan PSP, 2006b). Perbandingan tersebut belum memperhitungkan jumlah pendidikan menengah di bawah Departemen Agama seperti MA dan MAK. Jika jumlahnya diperhitungkan maka rasio pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan menjadi 70:30.
Dalam harian Kompas, Direktur Pembinaan SMK memberikan angka yang berbeda dengan target yang ada dalam Renstra Depdiknas 2005-2009. Menurutnya, Rencana Strategis Nasional Pendidikan mematok rasio antara jumlah SMK dan SMA sebesar 50:50 pada tahun 2010 dan 70:30 pada tahun 2015. Penetapan target tersebut perlu diikuti dengan perubahan paradigma bagi semua kalangan, khususnya paradigma bahwa SMK bukanlah sekolah terminal atau tempat penampungan lulusan SMP yang tidak berminat ke jalur akademik. (http://cetak.kompas.com)
Perubahan sasaran rasio SMA dan SMK tersebut akan berdampak penyediaan dana yang cukup besar yang harus disediakan oleh pemerintah untuk pembangunan infrastruktur dan penyediaan tenaga kependidikan. Dampak lainnya adalah perguruan tinggi yang selama ini ada lebih banyak menampung lulusan SMA dengan proporsi jurusan ilmu sosial jauh lebih besar jika dibandingkan jurusan teknologi. Sementara itu, pengalaman sejumlah negara menunjukkan bahwa kemajuan suatu negara tidak semata-mata karena penekanan pada pendidikan menengah umum atau kejuruan.
Berdasarkan data tahun 2005/2006 perbandingan siswa SMK dan SMA sebesar 39:61. Jika memperhitungkan jumlah siswa Madrasah Aliyah (MA) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) perbandingan tersebut menjadi 30:70. Sementara itu, Renstra Depdiknas 2005-2009 menyebutkan bahwa pemerintah akan berupaya meningkatkan jumlah SMK sehingga mencapai perbandingan 50:50 pada tahun 2010 dan 70:30 pada tahun 2015.
Berkaitan dengan penetapan target tersebut permasalahannya adalah apakah target tersebut dapat tercapai bila dikaitkan dengan kecenderungan selama ini dan program-program pembangunan pendidikan yang telah dilakukan?
Tujuan analisis ini adalah untuk mengkaji apakah target perimbangan SMK dan SMA sebesar 70:30 pada tahun 2015 merupakan angka yang realistik bisa dicapai.

KAJIAN LITERARUR DAN BAHASAN
PERBANDINGAN ANTARNEGARA
Hasil studi yang dilakukan oleh Bank Dunia yang disajikan dalam Education Sector Assesment di Yogyakarta tanggal 25 Agustus 2008 di antaranya menyebutkan bahwa proporsi siswa sekolah menengah kejuruan terhadap total siswa sekolah menengah di sejumlah negara sangat bervariasi, mulai dari 3 persen (Tunisia) sampai 80 persen (Argentina). Sementara itu, untuk Indonesia pada tahun 2006 sebesar 40 persen. Sejumlah negara maju seperti Jerman, Swiss, Inggris, dan Australia proporsi

Baca Selengkapnya Silahkan Download File Dibawah Ini :
1. File Bentuk PDF
2. File Bentuk DOC

UPAYA MEWUJUDKAN SEKOLAH BERSTANDAR INTERNASIONAL BERBASIS POTENSI LOKAL

UPAYA MEWUJUDKAN SEKOLAH BERSTANDAR INTERNASIONAL BERBASIS POTENSI LOKAL

Nanang Martono
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto email: nanang_martono@yahoo.co.id

ABSTRAK: Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan praktik SBI dari perspektif sosiologi serta strategi untuk mewujudkan SBI yang berbasis potensi lokal. Secara praktis, ada dua unsur dasar yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran di sekolah, yaitu metode dan substansi. Melalui metode guru diharuskan menggunakan sumber daya yang ada di sekitar sekolah sebagai media pembelajaran. Unsur substansi lebih menekankan pada isi atau materi pembelajaran.
Guru harus mengaitkan materi pembelajaran dengan kondisi riil, baik kondisi alam maupun sosial yang dekat dengan kehidupan peserta didik sehari-hari. Selain itu,
Pengembangan sekolah berbasis internasional (SBI) berbasis potensi lokal juga perlu dilakukan dengan membangun budaya sekolah berbasis nilai-nilai lokal. pelaksanaan SBI harus mampu memanfaatkan potensi lokal yang ada di sekitar sekolah, sehingga peserta didik peka terhadap kondisi alam dan sosial di sekitarnya.
KATA KUNCI: sekolah berbasis internasional, potensi lokal, metode, substansi pelajaran, dan budaya sekolah.

PENDAHULUAN
Globalisasi yang melanda dunia membawa berbagai konsekuensi logis bagi seluruh aspek kehidupan masyarakat. Aspek politik, sosial, budaya dan ekonomi menjadi imbas munculnya makhluk bernama globalisasi ini. Dunia pendidikan pun tidak mau kalah. Sebagai upaya mewujudkan keterandalan kualitas pendidikan nasional, lembaga pendidikan pun diharuskan untuk menyesuaikan diri seiring datangnya kekuatan besar globalisasi.
Globalisasi dapat dimaknai sebagai sebuah proses penyeragaman seluruh aspek kehidupan manusia di seluruh dunia. Seluruh negara di dunia seolah-olah disatukan oleh sebuah prosesi yang bersifat global ini. Batas antarnegara pun seolah telah dihapus, semua orang dari semua negara bebas berinteraksi, bahkan bebas menembus batas geografis antarnegara. Mobilitas individu pun menjadi tinggi, bukan lagi dari desa ke kota, bukan antarprovinsi, bahkan mobilitas antarnegara sangat mudah dilakukan. Lebih dari itu, globalisasi telah menghapus perbedaan ras dan etnis.
Upaya untuk menyesuaikan kondisi yang serba global tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara tersebut dapat dilakukan dengan mengubah gaya hidup atau dengan mengubah sistem sosial. Mengubah gaya hidup dilakukan dengan melakukan imitasi atau identifikasi seorang individu atau kelompok sosial dengan yang lain. Teoritikus Poskolonial, Fanon (Sutrisno dan Putranto, 2008) menyebut proses ini dengan istilah “mimikri”, yaitu sebuah proses peniruan identitas oleh kelompok (masyarakat) terjajah dengan identitas kelompok penjajah. Sebagai gambaran, nanti akan muncul seorang bersuku Jawa tetapi bergaya hidup ala Amerika.
Proses globalisasi ini menjadi lebih menarik ketika sudah merambah dalam sistem pendidikan. Substansi pendidikan nasional hampir selalu diorientasikan pada pemenuhan kebutuhan pasar global di tingkat internasional. Indikator kualitas pendidikan, bahkan juga diarahkan untuk menyesuaikan kondisi global. Salah satu indikasinya adalah pengukuran HDI (Human Development Index), hampir selalu digunakan untuk mengukur kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) suatu negara. Globalisasi kemudian identik dengan westernisasi, negara barat sebagai kiblat kemajuan, seolah-olah negara timur yang ingin maju harus mengadopsi inovasi yang dihasilkan negara barat.
Permasalahan yang muncul sekarang adalah bila globalisasi dimaknai sebagai proses peng-global-an seluruh aspek kehidupan, lalu di manakah potensi ataupun kekayaan lokal akan dikembangkan? Bila seluruh komponen dalam system pendidikan dalam konteks yang khusus diarahkan untuk berorientasi pada nilai-nilai global, mekanisme seperti apa yang efektif untuk mengembangkan dan melestarikan potensi lokal melalui lembaga pendidikan ini?
Untuk mencapai apa yang dinamakan sebagai “kemajuan” dalam praktik pendidikan maka muncullah Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI). Sekolah yang menyandang gelar RSBI ini nantinya akan berubah statusnya menjadi SBI (Sekolah Berstandar Internasional). Konsep “Berstandar Internasional” mengisyaratkan sebuah sistem pendidikan yang menggunakan standar (atau bahkan berkiblat) pada sistem pendidikan di tingkat internasional. Sistem ini meliputi bahasa pengantar, substansi mata pelajaran, sarana dan prasarana dan sebagainya. Tipe SBI dalam jangka panjang akan diterapkan di seluruh lembaga sekolah di Indonesia untuk meningkatkan standar kualitas peserta didik yang nantinya berdampak pula pada peningkatan kualitas pendidikan nasional. Kemunculan RSBI (dan SBI) ini bukanlah tanpa membawa masalah sosial. Secara sosiologis, munculnya sebuah sistem dalam masyarakat akan membawa dua dampak, yaitu dampak positif dan negatif.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan sebuah pemahaman mengenai dampak SBI secara sosiologis yang dikaitkan dengan wacana pengembangan potensi lokal melalui SBI. Apabila dikaitkan dengan permasalahan sebelumnya, maka tulisan ini mengambil dua permasalahan.
Pertama, bagaimana praktik SBI dilihat melalui perspektif sosiologis.
Kedua, bagaimana peran yang dapat dilakukan oleh SBI dalam upaya mengembangkan potensi lokal. Hal ini sangat penting untuk dikaji mengingat salah satu fungsi pendidikan adalah sebagai mekanisme untuk mentransfer nilai-nilai dan norma antargenerasi. Nilai dan norma ini lebih sempit dimaknai sebagai nilai- nilai dan norma budaya lokal. Kemudian, bagaimana mewujudkan SBI yang berbasis pada potensi lokal agar kearifan lokal tidak tercerabut dari identitas kita sebagai Bangsa Indonesia?
Kajian Teori

SBI DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI
Perspektif menurut Meighan (1981) merupakan “frame of reference, a series or working rules by which a person is able to make sense of complex and puzzling phenomena”. Bagi sosiolog, fenomena merupakan kehidupan sosial dan diadopsi sebagai bagian dari sikap ataupun penilaian terhadap kehidupan sosial. Perspektif sosiologi memfokuskan pembahasan pada dua aspek.
Pertama, melihat masyarakat sebagai gambaran mengenai keistimewaan struktur yang muncul, berkembang secara terus menerus dan mengalami perubahan sebagai konsekuensi tindakan manusia dalam hubungannya dengan manusia yang lain.
Kedua, melihat hubungan antara penjelasan “akademis” tentang kehidupan sosial dan formulasi kebijakan yang dapat digunakan secara langsung dalam kegiatan anggota masyarakat setiap hari (Meighan,1981). Sosiologi dalam konteks pendekatan makro, memiliki dua perspektif utama, yaitu perspektif fungsional dan perspektif konflik.
Secara umum, analis fungsional, melihat fungsi serta konstribusi yang positif lembaga pendidikan dalam memelihara atau mempertahankan keberlangsungan sistem sosial. Durkheim sebagai salah satu penganut pandangan ini melihat hubungan antara sistem (praktik) pendidikan dengan integrasi serta solidaritas sosial. Durkheim melihat fungsi utama pendidikan adalah mentransmisikan nilai-nilai dan norma- norma dalam masyarakat. Durkheim berargumen bahwa:
Society can survive only if there exists among its members a sufficient degree of homogeneity; education perpectuates and reinforces this homogeneity by fixing in the child form the beginning the essential similarities which collective life demands (Durkheim dalam Haralambos dan Holborn, 2004).

Baca Selengkapnya Silahkan Download File Dibawah Ini :
1. File Bentuk PDF
2. File Bentuk DOC

MANAJEMEN PENDIDIKAN BERBASIS ELEKTRONIK(E-LEARNING)

MANAJEMEN PENDIDIKAN BERBASIS ELEKTRONIK(E-LEARNING)
dalam Menyiapkan Sumber Daya Manusia Handal Menuju Terciptanya Clean and Good Governance

Sylviana Murni
Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA Jakarta

ABSTRAK: Pendidikan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Kesadaran akan pentingnya pendidikan sebagai proses mencerdaskan bangsa, telah mendorong masyarakat untuk melakukan upaya perbaikan mutu pendidikan. Manajemen pendidikan menghasilkan manusia pembelajar yang merupakan human capital dan memiliki keterkaitan erat dengan kompetensi dan talent management yang berkontribusi pada organisasi belajar.
Organisasi belajar berimplikasi terhadap lahirnya SDM yang profesional dan dapat mewujudkan karakteristik good governance. Menata kembali sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan penyelengaraan negara dengan memperbaiki sistem pengawasan dan mempercepat penerapan e-government pada setiap instansi pelayanan publik merupakan prasyarat percepatan terwujudnya clean and good governance.
KATA KUNCI: e-learning, sumber daya manusia, clean and good governance

PENDAHULUAN
Pendidikan sebagai bagian dari produk budaya manusia secara terus-menerus berkembang dalam rangka mengubah dan memenuhi perkembangan zaman. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, pendidikan merupakan faktor prioritas yang perlu dibangun dan ditingkatkan mutunya. Para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), telah memasukkan dan merumuskan arti pentingnya pendidikan dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar dari segala peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 bahwa ”Setiap warga negara Indonesia berhak untuk mendapatkan pendidikan”. Hal ini berarti bahwa Undang-Undang Dasar 1945 menyiratkan betapa pentingnya pendidikan bagi pengembangan dan peningkatan kualitas manusia Indonesia.
Pendidikan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan kualitas modal insani, yaitu Sumber Daya Manusia (SDM). Kesadaran akan pentingnya pendidikan sebagai proses mencerdaskan bangsa telah mendorong masyarakat untuk melakukan upaya perbaikan mutu pendidikan. Tiga tantangan besar yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia pada saat ini.
Pertama, sebagai akibat dari krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut untuk dapat mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai.
Kedua, untuk mengantisipasi era global, dunia pendidikan dituntut mempersiapkan SDM yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar kerja global.
Ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan nasional sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis dengan memperhatikan keberagaman kebutuhan peserta didik dan daerah serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat (dalam Sylviana Murni, 2005).
Seorang ahli filsafat Emmanuel Kant mengatakan bahwa pendidikan adalah pangkal ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala kehidupan (dalam Sylviana Murni, 2007a). Oleh karena itu, betapa pentingnya pendidikan dalam mencapai masyarakat yang mandiri dalam abad yang penuh tantangan global ini. Untuk mencapai SDM tersebut diperlukan pengembangan dan perubahan paradigma bahwa pembangunan akan berhasil apabila ditunjang dengan SDM yang berkualitas. Sebagai suatu pijakan yang mendasar dalam menjalankan suatu kegiatan, cara yang tepat dalam melakukan peningkatan mutu dan kualitas manusia Indonesia adalah dengan cara melakukan investasi pendidikan.
Masalah yang paling sering dan menonjol antara lain “penolakan atas perubahan itu sendiri”. Istilah yang sangat populer dalam manajemen adalah resistensi perubahan (resistance to change). Penolakan atas perubahan tidak selalu negatif karena justru adanya penolakan tersebut
sehingga perubahan tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Sumber penolakan atas perubahan yaitu penolakan yang dilakukan oleh individu maupun oleh kelompok atau suatu organisasi (Stephen P. Robbins, 1991). Salah satu permasalahan terkait dengan penyiapan SDM yang berkualitas di era global yaitu belum terciptanya penyelenggaraan manajemen pendidikan berbasis elektronik (e-learning) di berbagai satuan pendidikan dan jajaran penyelenggara pendidikan serta instansi pemerintahan.
Penulisan artikel ini bertujuan sebagai prasyarat dalam pengukuhan jabatan guru besar pada Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA Jakarta dan sekaligus mensosialisasikan manajemen pendidikan berbasis elektronik (e-learning) dalam menyiapkan SDM yang handal menuju terciptanya clean and good governance.

KAJIAN LITERATUR

KUALITAS PENDIDIKAN
Pembangunan pada hakikatnya merupakan upaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pengembangan dan peningkatan SDM
merupakan suatu proses jangka panjang untuk meningkatkan potensi dan efektivitas komponen bangsa, yaitu manusia Indonesia seutuhnya, sebagaimana pada gambar berikut.

Baca Selengkapnya Silahkan Download File Dibawah Ini :
1. File Bentuk PDF
2. File Bentuk DOC

MINUS MALUM PENDIDIKAN GRATIS

MINUS MALUM PENDIDIKAN GRATIS

ABSTRAK: Amanat UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa diwujudkan dalam kebijakan wajar dikdas 9 tahun demi memberikan pelayanan kepada anak bangsa untuk memasuki sekolah dengan biaya terjangkau oleh kemampuan masyarakat. Hasrat dan tekad masyarakat untuk menyekolahkan anaknya mengalami kesulitan pembiayaan sehingga pemerintah menerapkan kebijakan pendidikan gratis yang dimulai pada tahun 2004.
Program pendidikan gratis diberikan hanya kepada masyarakat kurang mampu dan tidak dalam pengertian “bebas dari segala biaya pendidikan” sedangkan masyarakat menuntut pendidikan “tanpa biaya dan pungutan apa pun”. Sikap tengah yang lebih tepat digunakan ialah prinsip minus malum yang berarti diambil yang kurang buruknya daripada semua yang buruk. Berlandaskan prinsip itu diharapkan partisipasi masyarakat mendukung kebijakan pendidikan gratis kendatipun ada kekhawtiran terjadinya penurunan mutu akibat pemberian dana BOS yang terbatas. Kekhawatiran ini dapat teratasi apabila diperoleh komitmen pemerintah daerah untuk menunjang kebijakan pendidikan gratis dan kerja sama proaktif dari Komite Sekolah serta penerapan sanksi melalui Perda.
KATA KUNCI: wajib belajar, pendidikan gratis, dana BOS, Perda, minus malum.

PENDAHULUAN
Sudah lebih dari 25 tahun, tepatnya sejak tahun 1984, pemerintah mendengungkan kampanye wajib belajar pendidikan dasar atau disingkat wajar dikdas. Jaminan akses terhadap pendidikan dasar dalam rangka wajar 6 tahun yang kemudian disusul wajar 9 tahun sesungguhnya sudah menjadi komitmen antara pemerintah dan masyarakat, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa tujuan negara ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Maksud dan tujuan pelaksanaan wajib belajar adalah memberikan pelayanan kepada anak bangsa untuk memasuki sekolah dengan biaya murah dan terjangkau oleh kemampuan masyarakat banyak.Tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah terkait pengelolaan program wajar ialah
1) Pemerintah menetapkan kebijakan nasional pelaksanaan program wajib belajar;
2) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya berkewajiban menyelenggarakan program wajib belajar berdasarkan kebijakan nasional; dan
3) Pemerintah daerah dapat mengatur lebih lanjut pelaksanaan program wajib belajar, sesuai dengan kondisi daerah masing masing melalui Peraturan Daerah. Dengan demikian, penerapan wajib belajar di Indonesia menyimpang dari wajib belajar menurut pemahaman dan konsep internasional sebagaimana diungkap dalam suatu keputusan internasional Declaration on Education for All di Jomtien, Thailand, tahun 1990, yang menegaskan compulsory education. Wajib belajar versi internasional ini berimplikasi pada pembebasan penuh terhadap biaya pendidikan sehingga tidak ada halangan atau rintangan terhadap akses siswa mengenyam pendidikan bermutu, termasuk pendanaan pendidikan. Yang terjadi dan dilaksanakan di Indonesia ialah universal education yang memberikan akses yang bersifat pemerataan kepada anak untuk menikmati pendidikan. Dalam upaya melaksanakan pemerataan pendidikan kepada anak-anak bangsa,
Pemerintah tidak menutup mata terhadap kenyataan keterpurukan ekonomi di tengah masyarakat. Semakin banyak sekolah dibuka demi memberikan kesempatan pendidikan kepada anak bangsa yang berhasrat menimba pengetahuan dalam belajarnya, semakin banyak juga anak bangsa yang menyambut uluran tangan terhadap kesempatan menapatkan pendidikan ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian terbesar anak-anak bangsa itu berasal dari keluarga kurang mampu ekonominya. Hasrat dan tekad mereka menyekolahkan anaknya mengalami jalan buntu sehingga pemerintah menggagaskan dan kemudian melaksanakan kebijakan pendidikan gratis.
Kebijakan wajib belajar dan program pendidikan gratis merupakan komitmen pemerintah untuk meningkatkan akses pendidikan. Komitmen pendidikan gratis diungkap oleh Mendiknas Bambang Sudibyo pada bulan Oktober 2004, selain komitmen tentang akses ke pendidikan tinggi dan kesejahteraan guru. Mendiknas akan memberi perhatian yang sangat besar pada pendidikan dasar dan menengah karena berkaitan dengan hak warga negara atas pendidikan dan wajib bagi pemerintah untuk menyediakannya. Namun, ditegaskan bahwa pendidikan gratis dapat diwujudkan bagi segmen tertentu masyarakat, yang memang pantas untuk digratiskan. “Tapi untuk orang kaya, saya tidak akan memberikan gratis,” katanya ((R.R Ariyani – Tempo http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/ 2004/10/22/brk,20041022-08,id.html)
Program pendidikan gratis lebih gencar dicanangkan kembali menjelang akhir masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Iklan tentang pendidikan gratis untuk jenjang pendidikan dasar yang ditayangkan di layar kaca belum lama ini yang diprakarsai oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) justru menuai kritik karena menimbulkan kesimpangsiuran dan membingungkan masyarakat serta berdampak negatif terhadap masyarakat umumnya dan sekolah terutama sekolah swasta khususnya. Iklan Depdiknas dapat berbalik menjadi boomerang bagi pemerintah lantaran mengucurkan harapan hampa kepada masyarakat. Dalam iklan itu tidak dijelaskan keterbatasan makna “gratis” yang dimaksudkan pemerintah sehingga ditafsirkan sebagai”bebas dari segala biaya pendidikan”. Padahal, sebagaimana dikatakan di atas, jauh sebelumnya sudah ditegaskan oleh Mendiknas bahwa pendidikan gratis diwujudkan bagi segmen tertentu masyarakat yang memang pantas untuk digratiskan. Masyarakat yang belum tahu tentang pembatasan itu bersorak gembira mengantongi pendidikan “gratis” di tangannya. Mereka mengumpat dan memaki-maki kepada kepala sekolah (baca: sekolah) lantaran masih terjadi pungutan dari orang tua siswa. Masyarakat tidak mau memberikan bantuan bagi penyelenggaraan pendidikan. Terjadilah protes dan ketegangan antara orang tua siswa dan sekolah yang dituding “koruptor”. Setelah ditelusuri makna “gratis” yang semu itu maka simpati yang semula menggayuti masyarakat berbalik menjadi antipati luar biasa kepada pemerintah dan permohonan maaf kepada sekolah.

Baca Selengkapnya Silahkan Download File Dibawah Ini :
1. File Bentuk PDF
2. File Bentuk DOC