Sabtu, Mei 01, 2010

UPAYA MEWUJUDKAN SEKOLAH BERSTANDAR INTERNASIONAL BERBASIS POTENSI LOKAL

UPAYA MEWUJUDKAN SEKOLAH BERSTANDAR INTERNASIONAL BERBASIS POTENSI LOKAL

Nanang Martono
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto email: nanang_martono@yahoo.co.id

ABSTRAK: Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan praktik SBI dari perspektif sosiologi serta strategi untuk mewujudkan SBI yang berbasis potensi lokal. Secara praktis, ada dua unsur dasar yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran di sekolah, yaitu metode dan substansi. Melalui metode guru diharuskan menggunakan sumber daya yang ada di sekitar sekolah sebagai media pembelajaran. Unsur substansi lebih menekankan pada isi atau materi pembelajaran.
Guru harus mengaitkan materi pembelajaran dengan kondisi riil, baik kondisi alam maupun sosial yang dekat dengan kehidupan peserta didik sehari-hari. Selain itu,
Pengembangan sekolah berbasis internasional (SBI) berbasis potensi lokal juga perlu dilakukan dengan membangun budaya sekolah berbasis nilai-nilai lokal. pelaksanaan SBI harus mampu memanfaatkan potensi lokal yang ada di sekitar sekolah, sehingga peserta didik peka terhadap kondisi alam dan sosial di sekitarnya.
KATA KUNCI: sekolah berbasis internasional, potensi lokal, metode, substansi pelajaran, dan budaya sekolah.

PENDAHULUAN
Globalisasi yang melanda dunia membawa berbagai konsekuensi logis bagi seluruh aspek kehidupan masyarakat. Aspek politik, sosial, budaya dan ekonomi menjadi imbas munculnya makhluk bernama globalisasi ini. Dunia pendidikan pun tidak mau kalah. Sebagai upaya mewujudkan keterandalan kualitas pendidikan nasional, lembaga pendidikan pun diharuskan untuk menyesuaikan diri seiring datangnya kekuatan besar globalisasi.
Globalisasi dapat dimaknai sebagai sebuah proses penyeragaman seluruh aspek kehidupan manusia di seluruh dunia. Seluruh negara di dunia seolah-olah disatukan oleh sebuah prosesi yang bersifat global ini. Batas antarnegara pun seolah telah dihapus, semua orang dari semua negara bebas berinteraksi, bahkan bebas menembus batas geografis antarnegara. Mobilitas individu pun menjadi tinggi, bukan lagi dari desa ke kota, bukan antarprovinsi, bahkan mobilitas antarnegara sangat mudah dilakukan. Lebih dari itu, globalisasi telah menghapus perbedaan ras dan etnis.
Upaya untuk menyesuaikan kondisi yang serba global tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara tersebut dapat dilakukan dengan mengubah gaya hidup atau dengan mengubah sistem sosial. Mengubah gaya hidup dilakukan dengan melakukan imitasi atau identifikasi seorang individu atau kelompok sosial dengan yang lain. Teoritikus Poskolonial, Fanon (Sutrisno dan Putranto, 2008) menyebut proses ini dengan istilah “mimikri”, yaitu sebuah proses peniruan identitas oleh kelompok (masyarakat) terjajah dengan identitas kelompok penjajah. Sebagai gambaran, nanti akan muncul seorang bersuku Jawa tetapi bergaya hidup ala Amerika.
Proses globalisasi ini menjadi lebih menarik ketika sudah merambah dalam sistem pendidikan. Substansi pendidikan nasional hampir selalu diorientasikan pada pemenuhan kebutuhan pasar global di tingkat internasional. Indikator kualitas pendidikan, bahkan juga diarahkan untuk menyesuaikan kondisi global. Salah satu indikasinya adalah pengukuran HDI (Human Development Index), hampir selalu digunakan untuk mengukur kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) suatu negara. Globalisasi kemudian identik dengan westernisasi, negara barat sebagai kiblat kemajuan, seolah-olah negara timur yang ingin maju harus mengadopsi inovasi yang dihasilkan negara barat.
Permasalahan yang muncul sekarang adalah bila globalisasi dimaknai sebagai proses peng-global-an seluruh aspek kehidupan, lalu di manakah potensi ataupun kekayaan lokal akan dikembangkan? Bila seluruh komponen dalam system pendidikan dalam konteks yang khusus diarahkan untuk berorientasi pada nilai-nilai global, mekanisme seperti apa yang efektif untuk mengembangkan dan melestarikan potensi lokal melalui lembaga pendidikan ini?
Untuk mencapai apa yang dinamakan sebagai “kemajuan” dalam praktik pendidikan maka muncullah Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI). Sekolah yang menyandang gelar RSBI ini nantinya akan berubah statusnya menjadi SBI (Sekolah Berstandar Internasional). Konsep “Berstandar Internasional” mengisyaratkan sebuah sistem pendidikan yang menggunakan standar (atau bahkan berkiblat) pada sistem pendidikan di tingkat internasional. Sistem ini meliputi bahasa pengantar, substansi mata pelajaran, sarana dan prasarana dan sebagainya. Tipe SBI dalam jangka panjang akan diterapkan di seluruh lembaga sekolah di Indonesia untuk meningkatkan standar kualitas peserta didik yang nantinya berdampak pula pada peningkatan kualitas pendidikan nasional. Kemunculan RSBI (dan SBI) ini bukanlah tanpa membawa masalah sosial. Secara sosiologis, munculnya sebuah sistem dalam masyarakat akan membawa dua dampak, yaitu dampak positif dan negatif.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan sebuah pemahaman mengenai dampak SBI secara sosiologis yang dikaitkan dengan wacana pengembangan potensi lokal melalui SBI. Apabila dikaitkan dengan permasalahan sebelumnya, maka tulisan ini mengambil dua permasalahan.
Pertama, bagaimana praktik SBI dilihat melalui perspektif sosiologis.
Kedua, bagaimana peran yang dapat dilakukan oleh SBI dalam upaya mengembangkan potensi lokal. Hal ini sangat penting untuk dikaji mengingat salah satu fungsi pendidikan adalah sebagai mekanisme untuk mentransfer nilai-nilai dan norma antargenerasi. Nilai dan norma ini lebih sempit dimaknai sebagai nilai- nilai dan norma budaya lokal. Kemudian, bagaimana mewujudkan SBI yang berbasis pada potensi lokal agar kearifan lokal tidak tercerabut dari identitas kita sebagai Bangsa Indonesia?
Kajian Teori

SBI DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI
Perspektif menurut Meighan (1981) merupakan “frame of reference, a series or working rules by which a person is able to make sense of complex and puzzling phenomena”. Bagi sosiolog, fenomena merupakan kehidupan sosial dan diadopsi sebagai bagian dari sikap ataupun penilaian terhadap kehidupan sosial. Perspektif sosiologi memfokuskan pembahasan pada dua aspek.
Pertama, melihat masyarakat sebagai gambaran mengenai keistimewaan struktur yang muncul, berkembang secara terus menerus dan mengalami perubahan sebagai konsekuensi tindakan manusia dalam hubungannya dengan manusia yang lain.
Kedua, melihat hubungan antara penjelasan “akademis” tentang kehidupan sosial dan formulasi kebijakan yang dapat digunakan secara langsung dalam kegiatan anggota masyarakat setiap hari (Meighan,1981). Sosiologi dalam konteks pendekatan makro, memiliki dua perspektif utama, yaitu perspektif fungsional dan perspektif konflik.
Secara umum, analis fungsional, melihat fungsi serta konstribusi yang positif lembaga pendidikan dalam memelihara atau mempertahankan keberlangsungan sistem sosial. Durkheim sebagai salah satu penganut pandangan ini melihat hubungan antara sistem (praktik) pendidikan dengan integrasi serta solidaritas sosial. Durkheim melihat fungsi utama pendidikan adalah mentransmisikan nilai-nilai dan norma- norma dalam masyarakat. Durkheim berargumen bahwa:
Society can survive only if there exists among its members a sufficient degree of homogeneity; education perpectuates and reinforces this homogeneity by fixing in the child form the beginning the essential similarities which collective life demands (Durkheim dalam Haralambos dan Holborn, 2004).

Baca Selengkapnya Silahkan Download File Dibawah Ini :
1. File Bentuk PDF
2. File Bentuk DOC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar